Looking For Anything Specific?

The Post Truth Era: Ketika Kebenaran Menjadi Nomor Sekian

 

iStock


"Berita palsu hanyalah gejala. Penyakit sesungguhnya adalah berkurangnya keinginan mencari bukti, mempertanyakan sesuatu dan berpikir kritis" -Davis Kushner

Akhir-akhir ini, istilah The Post Truth Era (Era Pasca Kebenaran) sering kali dipakai pada seminar-seminar atau tulisan ilmiah populer. The Post Truth Era menunjukkan pada zaman yang ditandai oleh meningkatnya penggunaan media sosial sebagai sumber berita yang bersamaan dengan semakin besarnya ketidakpercayaan terhadap fakta dan data yang disajikan oleh institusi yang berwenang ataupun media massa.

Dalam kamus Oxford dijelaskan post truth bermakna keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada berita yang bersifat emosional. Hal ini berimbas pada dikaburkannya publik dari fakta-fakta objektif, sehingga yang dikonsumsi justru informasi yang palsu (hoax).

Lalu, mengapa peristiwa ini dapat terjadi? Padahal, institusi yang berwenang dan portal-ortal berita selalu eksis dalam menyajikan informasi kepada netizen (pemakai internet). Dilansir dari IDN Times, ada beberapa faktor penyebab netizen suka mengonsumsi berita hoax, di antaranya:

Membaca Judul Tanpa Keseluruhan Isi Suatu Informasi

Hal ini membuat netizen tidak memahami esensi utama dari sebuah berita dan yang terjadi justru penghakiman dan dramatisasi subjektif dari pembaca itu sendiri.

Percaya pada Satu Sumber Tertentu dan Mengagungkan Sumber Tersebut

Kefanatikan pada satu sumber saja akan mengakibatkan hilangnya sikap tabayyun (meneliti) dalam menggali informasi. Apalagi, tidak semua portal berita terjamin selalu benar. Maka dari itu, diperlukan riset yang mendalam dan menyeluruh.

Langsung Membagikan Informasi yang Mewakili Perasaan

Menurut psikologis, manusia yang selalu ingin belajar akan mencari kebenaran informasi, bukan pembenaran dari pemikiran pribadi. Ketika ada kesalahan dari yang dipahami, ia akan mengakuinya dan belajar dari itu.

theguardian.com menyebutkan orang yang kesulitan dalam introspeksi akan terus mencari pembelaan dan pembenaran sebanyak-banyaknya, tanpa menggali lebih dalam apakah yang ia pikirkan memang sepenuhnya benar.

Membenarkan Kabar yang Menjadi Trending

Sebuah penelitian menyatakan bahwa turut memviralkan kabar trending sering dilakukan oleh kebanyakan netizen, tidak hanya di Indonesia, tetapi seluruh dunia. Tingkat keseringan berita tersebut terlihat, membuat dirasa tidak perlu mencari tahu lagi kebenaran sesungguhnya.

Masih ingat dengan kasus Audrey? Pada April 2019, dukungan terhadap dirinya sempat viral di twitter karena katanya ia menjadi korban bullying, pengeroyokan dan penganiayaan oleh 12 siswi Sekolah Menengah Atas (SMA). Padahal, hasil visum dari pihak kepolisian menyatakan bahwa kesehatan fisiknya baik-baik saja.

Kebanyakan netizen merasa enggan untuk mencari kebenaran berita dan melakukan verifikasi ulang, beberapa bahkan tidak tahu caranya. Sebuah studi psikologis menyimpulkan bahwa mayoritas orang akan bertindak sesuai apa yang diinginkan oleh berita yang membuat mereka tergugah. Baik itu karena malas dalam mencari tahu lebih jauh ataupun karena tidak mengerti cara verifikasi kebenarannya.

Contohnya pada berita yang memuat gambar, sering terjadi dokumentasi lama yang dinarasikan dengan karangan baru. Jika di-drag dan drop gambar tersebut ke google, bisa jadi itu adalah gambar dari bertahun-tahun lalu atau isu yang telah tuntas.

Ajakan seperti "share = berpahala", "like = amin" atau "komentar = membantu" sudah cukup membuat banyak netizen percaya dengan berita yang disebarkan.

Dilansir dari impactbnd.com, hanya dengan sentilan perasaan mendapatkan "imbalan" baik secara moral maupun spiritual, cukup mendorong banyak orang bertindak cepat dalam memproses informasi tanpa mencari tahu kebenarannya. Perlu diingat bahwa tindakan nyata lebih memberi dampak daripada sekadar "like".

Dari beberapa faktor di atas, dapat disimpulkan, bahwasanya kecenderungan netizen dalam memperoleh informasi berasal dari perasaan yang emosional, trending, dan sebagainya. Padahal, untuk mendapatkan informasi yang baik dan benar, dibutuhkan riset mendalam agar informasi tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Untuk menanggulangi dampak dari The Post Truth Era, selayaknya kita sadar akan bahaya yang menimpa jika saja terkena. Hal ini dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, di antaranya:

Literasi 4.0

Literasi tidak terpaku dengan menulis di kertas atau membaca buku fisik saja. Literasi bersifat fleksibel dan bisa diimplementasikan di mana saja, termasuk jurnal online, terlebih saat ini merupakan revolusi industri 4.0.

Membekali diri dengan literasi, akan membuat setiap orang berpikir kritis, tidak mudah terbawa hal-hal yang abstrak, serta mampu mempertanggungjawabkan apa yang mereka tulis dan share di media sosial.

Jurnalisme Warga 4.0

Jika pada tahun 2000-an ke belakang masyarakat terbiasa menjadi pembaca atau pendengar saja melalui radio, televisi dan koran, maka berbeda dengan zaman sekarang. Di revolusi industri 4.0 ini, terdapat istilah jurnalisme warga di mana setiap orang bisa menjadi pembuat hingga penyebar berita atau informasi berkat kecanggihan sistem Teknologi Informasi (TI).

Menggali dan mengumpulkan informasi oleh jurnalis warga dapat meningkatkan kemampuan untuk mengetahui berbagai dimensi dari realitas yang berkembang secara langsung dari sumber terdekat.

Walaupun begitu, semua informasi tersebut tetap memerlukan pengecekan fakta, pemfilteran, dan yang terpenting, interpretasi serta analisis untuk menciptakan makna yang sesuai dengan lapangan. Namun, bukan tanpa resiko, jika seseorang tidak mendapat edukasi jurnalistik yang baik, kemajuan TI akan menjadi bumerang yang fatal bagi ia dan orang lain.

Bagi yang pernah mengambil mata kuliah jurnalistik atau pernah mengikuti kajian/seminar/workshop jurnalistik pasti sudah mafhum dengan edukasi pada jurnalistik. Yup, jurnalistik tidak sekadar membuat dan menyebarkan berita, tetapi lebih dari itu, ada banyak proses di dalamnya agar menghasilkan informasi yang kredibel. Karena itu, suatu produk jurnalistik selalu dihasilkan melalui proses tinjauan lapangan, cross check and balance, cover both side, penulisan, editing, hingga publikasi.

Julian Assange pernah berkata bahwasanya jurnalisme harus lebih seperti sains. Sejauh mungkin, fakta harus dapat diverifikasi. Jika jurnalis menginginkan kredibilitas jangka panjang untuk profesinya, mereka harus pergi ke arah itu dan lebih menghargai pembaca,

Untuk mewujudkan produk jurnalistik yang berupa sains, dapat diawali saat proses menggali. Ketika menggali data, seorang jurnalis harus berhati-hati. Hal tersebut berlanjut pada proses menuliskan atau mengolah, hingga menyajikan informasi.

Sangat dipertimbangkan apakah sebuah informasi yang akan disajikan sudah memenuhi asas keberimbangan, tidak merugikan pihak tertentu (tidak subjektif), tidak menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), diutarakan dengan ragam bahasa yang etis dan tidak vulgar, hingga diteliti apakah sebuah produk jurnalistik itu telah dituliskan dengan kaidah bahasa, ejaan, pun dengan tanda baca yang benar sebagaimana yang ditetapkan Pedoman Umum Bahasa Indonesia (PUEBI).

Seperti dilansir dari wartaekonomi, melalui sebuah proses yang begitu panjang pun, sebuah produk jurnalistik yang dihasilkan tidak berarti bebas dari kesalahan, ketidaksetujuan, serta protes dari pihak-pihak yang merasa dirugikan. Karena itu, seorang jurnalis bukanlah tukang ketik yang sekadar menuliskan apa yang harus ditulis tanpa terbebani proses, resiko, dan validitas sebuah informasi yang akan dipublikasikan.

Untuk itu, keberadaan The Post Truth Era harus diimbangi dengan literasi dan jurnalistik yang benar, supaya masyarakat dapat mengonsumsi informasi yang sehat dan bermanfaat. Jika tidak, maka yang terjadi, media akan diisi dengan informasi yang mana kebenaran hanya menjadi nomor sekian.

p.s: Tulisan ini pernah dipublikasi di akun kompasiana penulis.

Post a Comment

0 Comments