![]() |
| Instagram @alfalahkepang |
Alkisah pada suatu hari di bulan Sya’ban yang teduh, seorang Kiai besar di zamannya berkunjung ke sahabat yang tak hanya ia cintai, tapi ia takdzimi. Beliau adalah RKH. Abdul Madjid, pendiri Pondok Pesantren Mamba’ul Ulum Bata-Bata Pamekasan.
Sahabat beliau adalah KH. Yasin bin KH. Ya’qub. Mereka berteman baik semasa di pesantren kala berguru ke Syaikhona Kholil dan berlanjut hingga alumni. Tak hanya akrab dengan KH. Ya’qub, RKH. Abdul Madjid juga bersahabat baik dengan KH. Damanhuri Batu Ampar, Pamekasan.
K. Madjid tetap hormat pada sang sahabat meski usia KH. Yasin berada di bawahnya. Alasan penghormatan tersebut tak lain karena sang sahabat merupakan menantu dari sang guru.
KH. Yasin bin KH. Ya’qub menikah dengan Ny. Asma, putri bungsu Syaikhona Kholil dengan istri Ny. Maissy.
Konon, saat masih nyantri, baik K. Madjid maupun K. Yasin juga aktif mengabdi pada sang guru. Jika K. Madjid biasa epakon (disuruh) menjadi kusir delman Syaikhona Kholil, maka K. Yasin sering epakon ngare’ rebbe (mencabut rumput) yang nantinya dimakan oleh si kuda.
**
Hampir setiap bulan Sya’ban, K. Madjid selalu menyempatkan diri ke Kepang, Bangkalan untuk mengunjungi sahabatnya menanyakan perihal kapan jatuhnya tanggal 1 Ramadan. Padahal secara keilmuan falaq, K. Madjid telah terkenal sangat alim. Kunjungan beliau selain sebagai silaturrahmi, juga sebagai bentuk penghormatan kepada menantu Syaikhona Kholil itu.
Ketika beliau berdua lama berbincang, menantu K. Yasin mengantar biddeng (jamuan minuman). Beliau adalah KH. Cholili Adra’I yang menikah dengan putri K. Yasin, Ny. Baddiyah Yasin.
Di momen tersebut, tiba-tiba ada percakapan filosofis antara K. Madjid dan K. Yasin.
“E kimmah kennengan elmoh, Lek?” (Di mana tempatnya ilmu, Dek?) tanya K. Madjid pada K. Yasin.
Alih-alih menjawab, K. Yasin justru balik bertanya pada sahabat yang sudah beliau anggap kakak sendiri.
“E kimmah jalannah elmoh, Kak?” (di mana jalannya ilmu, Kak?)
“Kennengannah elmoh tade’ neng tase’ sakedul” (tempatnya ilmu bukan di laut Nyi Roro Kidul), jawab K. Madjid atas pertanyaannya sendiri.
“Jalannah elmoh, lo’ usa nompak seppur” (jalannya ilmu tidak perlu naik kereta), kata K. Yasin.
Uniknya, kedua pertanyaan di atas dijawab oleh penanya itu sendiri
***
Sontak, KH. Cholili Adra’i kaget dengan percakapan tersebut. Karena sebelumnya beliau sempat pamit pada sang mertua untuk menimba ilmu salah satu pesantren di Pulau Jawa. Ternyata percakapan filosofis tersebut ditujukan pada dirinya.
Dari percakapan di atas kita bisa belajar, bahwa niat dan ikhitiar mencari ilmu sejatinya ada di hati yang tulus dan tekad yang kuat; tak mesti di tempat yang terlihat ‘wah’ maupun di jauhnya perjalanan.
Lahumulfatihah.
Sumber cerita dinukil dari Abi penulis.

0 Comments