“Bisakah kau hidup tanpa teduhnya wanita?”-Raisa, 2017
![]() |
we-mobi.com |
Perempuan Madura
Dilahirkan dan dibesarkan di pulau garam membuat saya ‘merasa’ mengerti
dengan baik bagaimana Madura itu. Mulai dari bahasanya yang terdiri dari tiga
tingkatan, yaitu enggi bhunten (tingkatan bahasa halus tertinggi, bahasa
formal yang biasanya dipakai untuk orang yang diagungkan, namun kadang kala
dipakai pada konteks mana saja), enggi enten (tingkatan ke dua, termasuk
bahasa formal, biasanya dipakai di daerah perkotaan yang masih mau memakai) hingga
enje’ iyeh (tingkatan bahasa terakhir dan masuk kategori nonformal, dipakai
oleh kalangan antar pertemanan) kemudian jenis makanannya, rumah
tradisionalnya, pakaian adat, suhu panasnya bahkan khatam dengan
stereotip tentang Madura itu sendiri.
Domisili saya yang notabene kecamatan kota membentuk saya menjadi
pribadi yang kekinian (pada masa itu) bahkan semakin maju saja usai dibukanya
jembatan Suramadu. Ketika saya dimondokkan di sebuah pesantren salaf,
saya melihat sisi Madura yang berbeda-yang belum pernah saya temui sebelumnya. Di
sana, saya menempati sebuah asrama yang mewajibkan berbahasa Madura tingkat
pertama (enggi bhunten). Tentu hal ini mengharuskan saya beradaptasi
selama beberapa bulan karena sejatinya bahasa yang saya pakai saat di rumah
adalah bahasa Indonesia dan Madura tingkat ke tiga (enje’ iyeh).
Setelah mampu dengan fasih mengucapkan bahasa Madura enggi
bhunten, saya merasakan perubahan pribadi yang signifikan pada diri saya.
Dalam pengucapan bahasa Madura enggi bhunten, logat, nada dan intonasi
yang digunakan jauh lebih lembut dari pada tingkatan enggi enten apalagi
enje’ iyeh. Sehingga, hal tersebut membuat saya berbicara kepada satu
sama lain dengan lebih lembut dan ramah dan begitupun saya mendapat feedback
yang serupa.
Walaupun saya akui, tidak semua orang menerapkan bahasa Madura enggi
bhunten, dikarenakan minimnya regenerasi oleh sesepuh zaman sekarang.
Bahasa Madura enggi bhunten biasanya dapat dijumpai di pesantren salaf
yang menekankan dengan keluhuran akhlak, beberapa bagian kabupaten Sumenep dan Pamekasan
bagian utara.
Perempuan Jawa
Image perempuan Jawa yang terpatri di jiwa
kebanyakan orang Madura (termasuk saya) adalah kelembutan dalam berbicara,
sikap yang sopan dan murah senyum. Namun, image tetaplah image. Kenyataan
yang berbicara tentu tidak harus dengan image yang diciptakan.
Pengalaman saya sebagai (dan masih) mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di
Jawa Timur mengatakan walau tidak 100% sepenuhnya perempuan Jawa memang sesuai
dengan ekspektasi saya selama ini. Biasanya, alumni pesantren tradisional
(lagi-lagi) cenderung lebih halus (walaupun tidak semuanya). Teman saya yang
asli Malang mengatakan, jika dibanding dengan kota-kota seperti Jogjakarta,
Solo, Kebumen dan sebagian kota di Jawa Tengah lainnya, kota-kota di Jawa Timur
seperti Surabaya dan Malang memang terkesan lebih ‘kasar’. Akan tetapi
perbandingan tersebut tidak bisa menjadi patokan karena setiap daerah memiliki
standarnya masing-masing.
Perempuan Bali
Well, sejujurnya saya belum pernah
menginjakkan kaki di Bali. Namun, saya memiliki beberapa kenalan yang tinggal
di Bali. Senada dengan daerah yang lainnya, perempuan Bali yang menggunakan
bahasa halus akan jauh lebih halus dan lembut. Potret mudahnya bisa kita lihat
pada karakter Luhde yang diperankan oleh Elyzia Mulachela. Ya, Luhde yang
walaupun tokoh fiksi dalam Perahu Kertas, digambarkan sebagai sosok yang polos
dan lembut perangainya, namun saya yakin banyak perempuan Bali yang seperti
itu.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwasanya walaupun ada
perbedaan suku, bahasa bahkan mungkin agama, namun baik perempuan Madura, Jawa
ataupun Bali yang masih teguh dengan keluhuran adat, akan memiliki kesamaan
yakni kelembutan perangai, keramahan dalam bertutur dan murah dalam senyum.
p.s: 100% adalah opini pribadi dan pengamatan pribadi plus informasi
dari teman-teman terdekat. Thank’s to: Ibu Penulis, Nye’ Faizah Mutammamah,
Karimatul Ainiyah, Ismi Wulandari, Masluhah Jusli, Nikmatus Sa’adah, Nafiah
Zaini dan Fitria Amelia.
0 Comments