Looking For Anything Specific?

Mengkritisi Lora (Semacam Resensi)


Judul: Lora: Status dan Kompetensi Keilmuan sebagai Penerus Pimpinan Pesantren

Penulis: Ra M. Tohir Abd. Hamid

Penerbit: LKiS

Tahun Terbit: 2017

Jumlah Halaman: 123

Rate: 5/5

“Sehebat-hebatnya kromosom orang tua, tetap tidak bisa membawa pengetahuan di dalamnya. Nasab (hereditas) tidak mewariskan ilmu. Ilmu harus tetap dicari…” −hal. 39

Dari satu generasi ke generasi selanjutnya, para kiai selalu menaruh perhatian istimewa terhadap putra-putri mereka sendiri untuk dapat menjadi pengganti pimpinan dalam lembaga-lembaga pesantren mereka. −hal. xi

Buku ini spesial sebab penulis merupakan lora di pesantren saya; kata pengantar ditulis oleh mantan rektor kampus saya; dan buku ini lahir dari tugas akhir penulis yang berbasis pendekatan kualitatif.

Dari Tugas Akhir Menuju Buku

Sebuah buku yang lahir dari penelitian tugas akhir, tentu proses ilmiahnya tak diragukan lagi. Sebelumnya ada Kiai Gontor yang juga membagikan pengalaman serupa saat mengambil gelar doktoralnya di International Islamic University Malaysia.

Sebagai orang yang suka dengan penelitian kualitatif, saya tertegun bahwa buku ini tidak hanya buku akademik yang ilmiah, namun juga banyak motivasi-motivasi yang tersirat. Satu-satunya kekurangan buku ini, masih ada beberapa kata yang typo; semoga editor bisa memperbaikinya di kesempatan selanjutnya.

Tipologi Lora

Lora merupakan sebutan untuk putra kiai di Madura. Penyebutan ini sering kali disingkat “Ra”. Sama seperti gus jika di Jawa, tujuan adanya “panggilan” ini sebagai bentuk penghormatan, sebab adanya budaya tak sopan yang kental di kalangan pesantren jika langsung memanggil nama putra kiai tanpa menggunakan kata lora di depan.

Selain lora, beberapa daerah di Bangkalan ada yang menggunakan kata “bindarah” yang disingkat “dreh” dan bahkan ada sebutan “ning” (untuk putra kiai juga) di beberapa wilayah Pamekasan. Semua sebutan ini levelnya sama, hanya tergantung kultur setempat yang berlaku.

Mengkritisi Lora

Sebagaimana yang kita tahu, biasanya lora selalu mendapat keistimewaan dan rasa hormat berkat kemuliaan orang tua dan leluhurnya. Rasa respect ini bahkan sudah ada sejak sang lora lahir alias masih bayi.

Namun, ada beberapa kalangan juga yang tak menyukai kultur ini. Sebagian dari mereka justru mudah memberi “vonis” yang berterm negatif, jika seorang lora tidak bertingkah laku “sesuai” dengan keloraannya.

Mereka lupa, bahwa lora juga manusia biasa; yang tentu saja tak pernah sempurna.

Bagi saya, ekspektasi beberapa kalangan akan lora merupakan hal yang wajar-wajar saja. Sebagai makhluk sosial, kita tak bisa melarang manusia untuk beropini. Tetapi kita harus ingat, bahwa lora juga manusia dan tidak harus memenuhi ekspektasi manusia lainnya.

Kelebihan selanjutnya dari buku ini adalah banyaknya pengambilan data yang berupa wawancara langsung dengan lora-lora, walau tidak menyebutkan identitas asli. Dengan ini, banyak ragam pendapat dari lora terkait dirinya, motivasi belajar, ekonomi keluarga dan lain-lain. Kemudian kelebihan lainnya adalah buku ini ditulis oleh seorang lora, sehingga teori dan praktikalnya bermuatan objektif.

Akhirnya, buku ini cocok dibaca semua kalangan, tidak hanya lora. Karena di dalamnya sarat akan nilai-nilai Islami yang patut kita ambil, sekalipun pembaca bukan lora/ning pesantren.

p.s: Terima kasih telah membaca resensi ini. Untuk teman-teman yang sedang tak udzur, kiranya berkenan mengirim doa dan barokah Al-Fatihah untuk penulis.

Post a Comment

0 Comments